Perbedaan-perbedaan di dalam Injil Sinoptik:
Kesengajaan atau Kewajaran?

_oOo_
 

Pengantar

Mereka yang membaca kitab-kitab Injil dengan teliti akan menemukan bahwa kitab-kitab tersebut memiliki kesamaan sekaligus memiliki perbedaan. Peristiwa yang dilaporkan adalah peristiwa yang sama, namun cara menceritakan peristiwa tersebut berbeda-beda. Bahkan, masih dalam satu kitab yang sama, kadangkala ada tindakan atau perkataan Yesus yang dilaporkan lebih dari satu kali tetapi dalam peredaksian yang berbeda. Sebagai contoh saja, sebenarnya berapa ribu orang yang diberi makan oleh Yesus secara ajaib melalui beberapa roti dan ikan, apakah 4000 (Mat. 15:32-39) atau 5000 (Mat. 14:13-21)? Perbedaan ini telah menyebabkan banyak pertanyaan bagi orang Kristen, bahkan banyak dari orang Kristen sampai pada kesimpulan bahwa Injil-injil itu bertentangan dan secara historis tidak dapat dipercaya sebagai catatan tentang Yesus. Pengamatan atas persoalan ini bukanlah hal baru, para teolog sudah menggumulkannya dan menawarkan beragam penjelasan, bahkan para pemimpin Kristen abad permulaan (bapa-bapa gereja) juga sudah membicarakan hal ini.
 
Bagi mereka yang menolak otoritas Alkitab sebagai firman Allah, perbedaan semacam ini sering dijadikan senjata ampuh untuk menyerang kekristenan. Kelompok non-Kristen (baik Muslim, ateis, maupun skeptis) biasa mengadopsi pandangan para teolog liberal yang mengajarkan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada merupakan kontradiksi-kontradiksi yang tidak mungkin dapat diharmoniskan. Secara khusus di mata teman-teman kita yang Muslim, perbedaan-perbedaan tersebut menjadi mustahil untuk diterangkan. Dalam teologi Islam, Alquran diyakini sebagai firman Allah yang tidak mengandung perubahan sedikit pun dalam seluruh prosesnya, baik dari Allah kepada Muhammad, bahkan sampai pada edisi modern Alquran sekalipun. Setiap kata dijaga sebegitu rupa. Tidak ada perubahan maupun variasi sedikit pun. Seluruh teks Alquran yang pernah ada di dalam dunia diyakini sama persis. Sama sekali tidak ada perbedaan. Dengan perspektif seperti ini, perbedaan apapun langsung dipandang sebagai bukti yang melemahkan klaim bahwa suatu kitab suci adalah firman Tuhan.
 
Akhirnya, yang perlu kita jawab adalah, mengapa catatan-catatan itu berbeda-beda? Bagaimanakah kita bersikap menghadapi persoalan ini? Apakah ini melemahkan klaim Alkitab sebagai firman Allah?
 

Penolakan Kaum Skeptis

Dalam bukunya, bab keenam “Misquoting Jesus,”1Bart D. Ehrman, “Ch.6: Pengubahan yang Dimotivasi Kepercayaan Teologis,” Misquoting Jesus, Kesalahan Penyalinan Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (Jakarta: Gramedia, 2006), 171-204. Bart Ehrman menyatakan, bagian-bagian dalam Alkitab mengalami perubahan-perubahan yang disengaja oleh para penyalin dengan motif untuk mempertahankan doktrin-doktrin tertentu atau sebagai respons terhadap ajaran yang berbeda. Kelompok-kelompok orang-orang percaya mula-mula memiliki pemahaman yang beragam mengenai Yesus, ada yang menganggap Yesus barulah menjadi ilahi pada saat pembaptisan (adoptionism), ada yang melihat Yesus adalah Allah yang terlihat seperti manusia dan tidak benar-benar menderita (docetism), dan ada pula yang melihat Yesus sebagai manusia yang dimasuki oleh Kristus pada saat Ia dibaptis dan kemudian Ia ditinggalkan ketika disalibkan (separationism). Banyak dari ayat-ayat Alkitab telah ditambahkan atau diubah demi menghadapi ajaran-ajaran ini sehingga pada akhirnya kita memperoleh bentuk Alkitab yang ada sekarang ini.
 
Pada video “Bart Ehrman-Michael Bird, Debate 2016,”2https://www.youtube.com/watch?v=RtkeNuCwinc Ehrman menyatakan, pada Injil yang paling awal tidak mengindikasikan bahwa Yesus adalah Allah. Pemahaman ini baru berkembang setelah kebangkitanNya. Kemudian jemaat mula-mula mengembangkan doktrin bahwa Yesus diadopsi oleh Allah pada saat baptisan. Dan, peninggian status Yesus terus berkembang dengan menyatakan Yesus lahir dari perawan. Setelah itu, berkembang teologi bahwa keilahian Yesus sudah ada sebelum Ia lahir ke dunia. Gereja kemudian menjelaskan hal ini dengan doktrin inkarnasi. Ada juga yang menjelaskan Kristologi dengan docetism dan modalism. Akan tetapi, dalam perkembangannya, doktrin Tritunggal yang ortodoks yang bertahan.
 
Dalam debat tersebut, Bird menyanggah dengan mengungkapkan bahwa Injil Markus memiliki bukti-bukti bahwa Yesus adalah Mesias yang ilahi. Setan-setan mengakui Yesus sebagai yang kudus dari Allah; Yesus mengutip Daniel dan Mazmur yang menyatakan Anak Manusia akan bertakhta di samping Tuhan. Orang tidak mungkin percaya Yesus sebagai Tuhan hanya karena Ia bangkit, karena tradisi Yahudi tidak mengajarkan orang yang bangkit dari kematian perlu disembah sebagai Allah. Berdasarkan pada pemikiran “Jika Yesus naik ke Surga, tentunya Ia pernah turun dari Surga” maka para murid menyadari bahwa Yesus sudah ada sebelum dunia dijadikan, bukan hanya karena kebangkitan-Nya. Lagi pula dalam kitab Matius dan surat Roma ada formula Tritunggal yang menyandingkan Yesus dengan Bapa dan pernyataan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Bird dengan tegas menyatakan, ia tidak melihat bukti-bukti dalam Injil Markus maupun Roma yang menyatakan, Yesus adalah manusia biasa yang diangkat menjadi Anak oleh Allah.
 
Dalam buku mereka “Dethroning Jesus,” Daniel B. Wallace dan Darrell L. Bock menyanggah pandangan Ehrman.3Darrell L. Bock and Daniel B. Wallace, “Claim One: The Original New Testament has been Corrupted by Copyists so Badly that it Can’t be Recovered,” Dethroning Jesus, Exposing Popular Culture’s Quest to Unseat the Biblical Christ (Nashville: Thomas Nelson, 2007), 35-76. Mereka berpandangan, sebenarnya banyak manuskrip Perjanjian Baru (PB) yang relatif awal yang proses penyalinan tidak terjadi secara linear hanya dari satu manuskrip ke satu manuskrip berikutnya, sehingga kalaupun ada kesalahan, tidak akan bersifat signifikan; atau kurang dari 1% perbedaan yang mempengaruhi makna teks; tidak ada yang mempengaruhi doktrin inti. Jadi, walaupun teks asli PB belum juga ditemukan, namun kita telah memiliki pernyataan-pernyataan doktrin yang esensial. Bagaimanapun, Ehrman mengingatkan kita akan pentingnya pemahaman historis mengenai bagaimana kita menerima Alkitab dalam bentuk yang sekarang. Dengan data yang sama kita juga dapat menyadari betapa Allah menggunakan kompleksitas komunitas dan manusia dalam sejarah untuk membentuk firman yang tertulis.
 
Di sisi lain, Wallace dan Bock terasa hanya melembutkan serangan Ehrman, sehingga dengan data yang sama, tesis Ehrman tetap dapat berdiri. Ehrman mungkin akan menjawab, manuskrip yang relatif awal tidak menjamin kisah yang diturunkan secara oral pasti tepat. Akan tetapi, kita dapat balik menyanggah Ehrman dengan pendapat bahwa keberadaan komunitas dapat menghasilkan proses saling koreksi dalam transmisi oral. Setiap anggota komunitas (berjumlah 5000 orang di Yerusalem pada masa Kis. 4:4) dapat saling membetulkan dan menjamin ketepatan kisah-kisah tersebut sebelum sampai ke tangan penulis Injil.
 
Setelah memahami penolakan kaum skeptis di atas, seharusnya kita sampai pada gambaran tentang kesulitan yang dialami oleh jemaat Kristen di abad mula-mula yang belum memiliki kanon Alkitab yang lengkap. Tentu dapat terjadi pada jemaat mula-mula ini, sebagai komunitas atau gereja lokal, menerima salinan yang salah. Namun, kita percaya bahwa Roh Kudus memelihara mereka dan tetap siap sedia memberikan iluminasi bagi mereka, dan Roh Allah yang mengawasi sejarah ini adalah Allah yang mengizinkan kesalahan-kesalahan penyalinan itu dalam fungsinya menyampaikan isi hati Tuhan kepada beragam manusia. Hal ini persis sama seperti penyampaian firman Tuhan dari satu mimbar gereja tetapi pada saat yang sama dapat menyentuh beragam jemaat secara berbeda-beda.
 

Pandangan Kaum Injili

Dalam bab Konklusi dari bukunya yang berjudul “Why are there differences in the Gospels?”4Michael R. Licona, Why are there differences in the Gospels? – What we can learn from ancient biography (Surabaya: Perkantas, 2018), 198-199. Michael Licona memberikan pandangannya bahwa sepanjang era ketika kitab-kitab Injil ditulis, sejarawan dan penulis biografi terbaik tidak berlatih menulis dengan komitmen yang sama dengan kita di zaman modern ini yang sangat menekankan faktor presisi. Mereka ingin menceritakan sebuah kisah dengan cara yang menghibur, memberikan bimbingan moral, menekankan poin-poin yang mereka anggap penting, dan melukis potret orang-orang penting. Jika sesekali mereka harus menyesuaikan beberapa detail, itu diperbolehkan saja. Adaptasi semacam itu tidak dimaksudkan untuk mendistorsi kebenaran melainkan guna mengkomunikasikannya secara lebih efektif. Pembicara modern, guru, pengkhotbah, dan bahkan profesor juga sering melakukan ini dalam ceramah dan homili mereka untuk penekanan atau untuk membuat poin-poin menjadi lebih jelas. Bahkan, sebagian besar dari kita pun telah melakukannya karena alasan yang sama ketika menceritakan kisah pribadi.
 
Selanjutnya, Licona memberi contoh seorang fotografer.5Licona, 199. Licona menjelaskan, ketika seorang fotografer hendak mengambil foto dari sepasang kekasih yang berpegangan tangan sambil berjalan melewati taman bunga, tentulah ia dapat mengedit foto dengan menambahkan sedikit kabut. Kabut itu sebenarnya tidak hadir pada saat foto itu diambil. Tidak ada langit yang biru seperti yang tampak di foto yang diedit. Namun, tidak ada yang keberatan dengan perubahan itu, karena itu dilakukan untuk menekankan unsur romantis yang benar-benar ada pada saat itu. Foto itu adalah “representasi sebenarnya” (true representation) dalam pesannya, meskipun tidak secara detail. “Representasi sebenarnya” adalah tujuan dari banyak fotografer, demikian juga dengan penulis-penulis sejarah dan biografi terbaik ketika kitab-kitab Injil ditulis.
 
Dalam bukunya, “Kaum Injili,” Yakub Susabda memaparkan pandangannya berkaitan dengan keabsahan Alkitab.6Yakub B. Susabda, Kaum Injili – Membangkitkan kembali Iman Kristiani Ortodoks (Malang: Gandum Mas, 1997), 36. Susabda berpendapat bahwa keabsahan Alkitab sebagai Firman Tuhan ditentukan oleh kesatuan dari keseluruhan unsur yang ada di dalam Alkitab. Alkitab adalah firman Allah dalam pengertian “seluruh kesatuannya secara lengkap.” Bukan cuma isi beritanya yang firman Allah, sebab kalau cuma isi beritanya yang firman Allah maka sebenarnya manusialah yang mempunyai otoritas untuk menentukan yang mana firman Allah dan yang mana bukan firman Allah, dengan demikian pastilah manusia memilih sesuai dengan “selera dan konsepnya sendiri” tentang apa yang pantas disebut firman Allah. Hanya kanon Alkitab yang merupakan kesatuan dari 66 kitab yang dapat disebut sebagai “firman Allah yang tertulis.” Arti sesungguhnya dari Biblical Inerrancy bahwa content tidak pernah dilepaskan dari keseluruhan context. Kesatuan dari seluruh bagian yang tertulis dalam Alkitab itulah firman Allah. Bukan cuma isinya, tetapi juga kerangkanya, konteksnya, wadahnya, bahasanya, unsur-unsur kebudayaannya, bahkan juga segala “keterbatasan-keterbatasannya.” Kesatuan seluruh Alkitab merupakan satu bangunan yang utuh, di mana “satu iota atau satu titik” tidak boleh diabaikan (Mat. 5:18-19).
 
Susabda menekankan bahwa keterbatasan yang dimiliki para penulis Alkitab justru merupakan bagian integral dari rahasia cara kerja Roh Kudus dalam inspirasi penulisan Alkitab.7Susabda, 39. Karena keterbatasan para penulis ini, yang seringkali menimbulkan pergumulan iman (entah dirasakan sebagai kontradiksi, inkonsistensi, irasional, atau kesulitan-kesulitan yang tidak bisa ditafsirkan) adalah “alat khusus” yang dipakai Roh Kudus untuk menolong pertumbuhan rohani orang percaya. Kesulitan-kesulitan untuk memahami aspek-aspek tertentu dari “apa yang tertulis” adalah bagian integral dari pergumulan iman orang percaya.
 
Lebih jauh, Susabda menjelaskan, pengakuan akan Biblical Inerrancy dan Biblical Infallibility adalah pengakuan bahwa the Author dari manuskrip yang asli dari seluruh kanon Alkitab Perjanjian Lama dan Baru (66 kitab) adalah Allah sendiri.8Susabda, 40. Alkitab “tidak ada salahnya” dalam konteks kesatuan seluruh Alkitab. Tidak ada satu bagian dari Alkitab yang boleh ditafsirkan di luar konteks kesatuan seluruh Alkitab yang bertemakan “rencana keselamatan Allah dalam Yesus Kristus.” Karena di luar konteks tema dasar ini, berita keselamatan dan wahyu Allah tidak pernah dapat dipahami. Di samping peringatanNya yang keras bagi yang mengabaikan “iota dan tanda baca” dalam Alkitab (Mat. 5:18), kalau diperhatikan secara seksama, nyata juga bahwa Tuhan Yesus sering mendemonstrasikan betapa pekerjaan penyelamatanNya bersangkut paut erat bukan hanya dengan isi berita Alkitab melainkan juga dengan “apa yang tertulis secara harafiah” di dalam Alkitab.
 
Merespons kaum skeptis yang menggunakan sains untuk mencela Alkitab, Susabda menjelaskan bahwa Alkitab tidak ada salahnya oleh karena natur penulisan Alkitab berada di seberang penilaian/penghakiman ilmu pengetahuan yang manapun juga.9Susabda, 42. Para penulis Alkitab selalu melihat dan menafsirkan realitas dan pengalaman sejarah dengan prespektif yang berbeda dari ilmu pengetahuan. Alkitab tidak ada salahnya dalam konteks realitas penggenapan rencana keselamatan Allah dalam ke-66 kitabnya, ini suatu proses yang mencapai puncaknya dalam kematian dan kebangkitan Kristus, dan memanifestasikan diri dalam realitas perjalanan hidup orang percaya.
 

Kesimpulan

Jadi, apakah perbedaan catatan di antara kitab-kitab Injil melemahkan klaim Alkitab bahwa catatan-catatan itu adalah firman Allah? Sama sekali tidak! Hal tersebut hanya menunjukkan bahwa kitab-kitab Injil merupakan firman Allah yang diberikan melalui tulisan manusia. Roh Allah mengilhamkan penulis Alkitab sehingga tulisan mereka mengandung otoritas ilahi dan tidak mengandung kesalahan (2 Tim. 3:16).
 
Jika kita menyelidiki seluruh catatan yang ada dengan teliti, semua perbedaan itu sebenarnya bukan persoalan yang serius. Penulis kitab-kitab Injil sendiri mengakui bahwa mereka melakukan seleksi, interpretasi, juga peredaksian terhadap peristiwa-peristiwa yang ada. Di awal kitabnya Lukas berkata: “Teofilus yang mulia, banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar” (Luk. 1:1-4). Bahkan Yohanes dua kali memberi petunjuk yang senada: “Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-muridNya, yang tidak tercatat dalam kitab ini” (Yoh. 20:30) dan “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu” (Yoh. 21:25).
 
Proses penulisan seperti yang dilakukan para penulis Injil, jelas membuka ruang yang lebar bagi perbedaan peredaksian. Menyangkut banyaknya peristiwa yang perlu dicatat, pasti terdapat perbedaan jumlah. Ribuan perkataan dan tindakan Yesus tidak mungkin dimasukkan semuanya ke dalam satu kitab. Pada saat suatu peristiwa dicatat, peredaksiannya tidak mungkin detail kata per kata sesuai dengan peristiwa aslinya. Sebuah peristiwa yang terjadi selama dua jam, misalnya, diringkas menjadi sebuah kisah pendek yang habis dibaca dalam lima menit.
 
Apa yang dilakukan oleh para penulis Alkitab ini sangat wajar. Semua penulis sejarah maupun biografi kuno juga menggunakan proses yang sama. Menuntut agar setiap peristiwa dituliskan secara detail dan persis sama dengan apa adanya fakta, adalah suatu tuntutan yang tidak logis dan berlebih-lebihan. Bahkan sampai sekarang banyak dari penulis sejarah atau biografi modern tidak mampu melakukan seperti apa yang disebut “tepat sama” (presisi). Pasti ada seleksi, pasti ada interpretasi, dan pasti ada peredaksian dalam taraf tertentu. Jika kita bandingkan kitab-kitab Injil dengan kitab sejarah atau biografi kuno, kita bahkan akan menemukan bahwa akurasi kitab-kitab Injil berada jauh di atas rata-rata.
 
Terpujilah Kristus. Amin.
[ Gogona Gultom ]
 
 
Daftar Pustaka
 
 
Bock, Darrell L., and Wallace, Daniel B., Dethroning Jesus, Exposing Popular Culture’s Quest to Unseat the Biblical Christ. Nashville: Thomas Nelson, 2007.
Ehrman, Bart D, “Ch.6: Pengubahan yang Dimotivasi Kepercayaan Teologis,” Misquoting Jesus, Kesalahan Penyalinan Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Jakarta: Gramedia, 2006.
Licona, Michael R., Why are there differences in the Gospels? – What we can learn from ancient biography. Surabaya: Perkantas, 2018.
Susabda, Yakub B., Kaum Injili – Membangkitkan kembali Iman Kristiani Ortodoks. Malang: Gandum Mas, 1997.
 
Notes
 
 
1
Bart D. Ehrman, “Ch.6: Pengubahan yang Dimotivasi Kepercayaan Teologis,” Misquoting Jesus, Kesalahan Penyalinan Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (Jakarta: Gramedia, 2006), 171-204.
 
2
https://www.youtube.com/watch?v=RtkeNuCwinc
 
3
Darrell L. Bock and Daniel B. Wallace, “Claim One: The Original New Testament has been Corrupted by Copyists so Badly that it Can’t be Recovered,” Dethroning Jesus, Exposing Popular Culture’s Quest to Unseat the Biblical Christ (Nashville: Thomas Nelson, 2007), 35-76.
 
4
Michael R. Licona, Why are there differences in the Gospels? – What we can learn from ancient biography (Surabaya: Perkantas, 2018), 198-199.
 
5
Licona, 199.
 
6
Yakub B. Susabda, Kaum Injili – Membangkitkan kembali Iman Kristiani Ortodoks (Malang: Gandum Mas, 1997), 36.
 
7
Susabda, 39.
 
8
Susabda, 40.
 
9
Susabda, 42.
 
 

 
© Gereja Rumah Indonesia
 
Gereja Rumah Indonesia
Contact Person: Sdr. Gogona
Email: grumah@gerejarumahindonesia.org
 
About  |   Visi  |   Misi  |   Disclaimer