7. LUKAS, INJIL UNTUK
ORANG-ORANG KAFIR DAN UNTUK ISRAEL
ORANG-ORANG KAFIR DAN UNTUK ISRAEL
_oOo_
Inilah akhir dari buku ini. Kita dengan singkat telah berusaha mengemukakan hal-hal yang merupakan ciri khas dari Injil Lukas. Separuh dari hal-hal itu kita mau kemukakan sekali lagi dengan pendek di sini sebagai rangkuman dari apa yang telah kita katakan dalam bagian-bagian yang terdahulu dari buku ini:
-
Pertama. Kita telah mendengar, bahwa Injil Lukas ditulis untuk Theofilus (dan mungkin juga untuk orang-orang kafir lain yang punya interesse terhadap Yesus dan pengajaranNya). Karena itu banyak orang menyangka, bahwa Injil ini harus kita baca sebagai Injil yang secara khusus ditujukan kepada orang-orang yang bukan Yahudi.
-
Kedua. Kita juga telah mendengar, bahwa Injil Lukas adalah suatu buku missioner, yang bukan saja ditujukan kepada orang-orang kafir, tetapi juga kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang “yang takut kepada Allah.” Maksudnya: orang-orang bukan-Yahudi yang menyembah Allah dan yang berbakti kepadaNya dalam sinagoge-sinagoge, tetapi yang tidak disunat (ump Kis 10:2; 13:43; 17:4).
-
Ketiga. Berhubung dengan apa yang kita katakan di atas ini timbul pertanyaan: bagaimanakah Injil Lukas harus kita “tempatkan”? Bagaimanakah terjadinya Injil ini harus kita jelaskan? Sebagai jawaban atas pertanyaan ini ada ahli Perjanjian Baru yang berusaha untuk memberikan “tempat” atau “status” yang baru kepada Injil Lukas.
-
Pendapat ini bertentangan dengan pendapat yang umumnya dianut oleh ahli-ahli Perjanjian Baru pada waktu ini, yaitu pendapat yang didasarkan atas hasil studi yang lebih dari satu abad lamanya tentang “persoalan sinoptis” dan yang dianggap sebagai pendapat yang makin lama makin pasti dan karena itu tidak dibantah lagi.
Penulis-penulis Perjanjian Baru yang berkebangsaan Yahudi – terutama Paulus, Matius, Markus dan Yohanes – dalam tulisan mereka bersikap sangat “keras” terhadap bangsa mereka sendiri yang menolak Yesus. Untuk Paulus sikap ini mungkin turut disebabkan oleh perlawanan-perlawanan yudaistis dan siksaan-siksaan yang ia alami dari pihak orang-orang Yahudi (bnd 2Kor 11:24).
Untuk Matius dan Yohanes mungkin ada hal-hal lain yang turut mempengaruhi sikap mereka: a.l. kegiatan-kegiatan anti-Kristen dari aliran Farizeisme yang dihadapi oleh Jemaat-Jemaat mereka di sekitar mereka pada waktu itu, yaitu aliran Farizeisme yang sesudah keruntuhan Yerusalem, menampakkan diri sebagai kekuatan yang sangat besar pengaruhnya dalam agama Yahudi.
Di tengah pertentangan-pertentangan ini, Lukas – “orang asing,” yang bukan Yahudi – dengan kuat menekankan, bahwa pekerjaan dan pengajaran Yesus berpangkal pada keselamatan yang diharapkan oleh Israel dari generasi ke generasi, dan bahwa Yesus adalah pertama-tama Juruselamat Israel dan baru sesudah itu Juruselamat bangsa-bangsa lain.
Ia berusaha membangun “jembatan” untuk menghubungkan Jemaat Purba dengan sinagoge dan sebaliknya, antara lain dengan menyusun kembali bahan-bahan dari Injil yang tua (dari Markus dan dari sumber yang lain itu) dalam “roh” yang bersahabat dengan orang-orang dan agama Yahudi. Kalau maksud Lukas ini kita pahami dan terima, Injilnya mungkin dapat berfungsi sebagai “titik-persinggungan” untuk pertemuan antara Gereja dan Israel.
oooOooo